-->
Home | Agama | Sejarah | Breakingnews | |

Saturday, June 6, 2015

MAKALAH PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI SOMALIA

Lawadaag Saaxiibadaa :
Pendahuluan
Sebelum menguraikan lebih jauh tentang dunia Islam di Afrika timur, alangkah baiknya kita menggambarkan dahulu tentang benua Afrika secasra geografis. Setelah itu kita mencoba melihat bagaimana pengaruh geografis ini terhadap penyebaran Islam di Afrika umumnya dan Afrika Timur khususnya.

1.Gambaran Umum Benua Afrika
 Luas benua afrika adalah 30.295.000 km 2 atau seperlima dari perrmukaan daratan bumi. Benua ini tidak banyak memiliki pulau- pulau dan teluk- teluk, sehingga nampak memiliki kesatuan yang utuh.
Dari tanjung Bon di Tunisia (Afrika Utara ) sampai dengan Tanjung Agulhas di Afrika Selatan panjangnya 8000 km², Sedangkan lebarnya dari Cape Verde di Afrika Barat sampai dengan Tanjung Guerdefui di Somalia Timur sejauh 7.400 km.
Adapun batas wilayahnya, sebelah utara berbatasan dengan laut tengah. Sebelah barat dan tengah berbatasan dengan samudera Atlantik, dan sebelah timur berbatasan dengan samudera Hindia. Afrika terbagi dua yang hampur-hampir ditengahi oleh garis equator, yaitu hampir 35 ke arah utara dan selatan. Selain itu garis meridian 20 BT membagi 2 benua Afrika menjadi dua bagian yang sama antara barat dan timur. Keadaan alam Afrika dapat dibagi atas tiga bagian, yaitu bergunung – gunung, lembah retidak besar, dan dataran pantai sempit. beriklim tropis dan sub tropis.
Penduduk Benua Afrika tahun 1998 berjumlah 763.000.000 jiwa dan sebahagian besar merupakan bangsa Negro. Bangsa Negro di Afrika dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu Negro Sudan dengan kulit lebih hitam dengan bibir tebal, dan Negro Batu yang kulitnya lebih terang dari Negro Sudan. Kegiatan ekonomi penduduknya sebahagian besar bersumber dari sektor pertanian, pertambangan dan perindustrian. Sektor pertanian meliputi karet, kapas, kopi, coklat, tebu, kelapa sawit, tembakau, gandum dan kurma. Dalam sektor pertambangan dan perindustrian, Afrika memiliki barang tambang yang melimpah dengan hasil tambang utama intan ( 98 % ), krom ( 35 %), mangan (25 % ), dan tembaga (20 % ).
 Bedasarkan wilayah administratif, Arfrika ini terbagi atas 5 wilayah : Afrika Utara, Afrika barat, Afrika Timur, dan Afrika Selatan. Benua afrika ini merupakan bekas jajahan Inggris, Perancis dan Spanyol ( E. Maryani : 1997 ).

2. Keadaan Sosial – Politik Bangsa Afrika
Penyebaran Islam di Afrika, umumnya tidak terlepas dari latar belakang sejarah penyebaran Islam pada zaman awal kejayaan Islam. Zaman itu dimulai pada masa pemerintahan Khulafa al-Rasyidin, terutama di awali pada masa pemerintahan Umar bin Khathab. Pada saat itu peta wilayah kekuasaan Islam di Afrika sudah menyebar sampai ke Mesir.
Ketika Islam sudah masuk Mesir, komunitas kaum muslimin berkembang dimana mereka menikahi para peduduk setempat dan bercampur dengan mereka.
Ada banyak tarikat yang muncul di Afrika, di antaranya al-Murabithun dan al-Muwahiddun (Ali Mufradi, 1997 :112 ) yang silih berganti menguasai dan menyebarkan Islam di Afrika.
Ketika keberadaan umat Islam di spanyol runtuh, masyarakat Islam di Afrika sudah mulai terancam pula keberadaannya yang pada gilirannya bangsa Afrika mulai tercabik-cabik oleh penjajah Barat yang kemudian ramai-ramai berdatangan ke benua ini.
Pada abad 19 dunia Islam mulai bangkit dari ketertidurannya, yang walaupun di sisi lain tidak bisa dipungkiri bahwa, terbangunnya mereka dari tidurnya secara umum karena interaksi mereka sendiri dengan masyarakat Eropa yang saat itu telah melangkah jauh meninggalkan mereka. Tentu saja, ada faktor negatif yang diwariskan sebagai efek samping dari interaksinya itu. Di antara faktor negatifnya, adalah tersebarnya faham nasionalisme yang pada sisi ini mampu menyadarkan mereka dengan kesadaran semu dan mengajarkan faham kebangsaan yang bertumpu pada persamaan ras dan kebudayaan. Kenyataan seperti ini, jelas ikut berkontribusi untuk mengkristalkan kaum muslimin dalam kelompok dan negara.
Disebut dengan kesadaran semu, Karena jika dilihat dari sisi integritasnya kaum muslimin sudah tidak mengakui adanya komunitas yang satu yang berada di bawah naungan pemerintahan yang satu pula. Oleh karena itu, gambaran kaum muslimin sekarang sudah tidak utuh lagi. Mereka tidak lebih dari makanan yang tercabik-cabik yang sedang diperebutkan oleh bangsa Barat yang tengah lapar untuk melahapnya. Memang dibalik kebangkitan kaum muslimin yang dibarengi dengan disintegrasi sebagai pengaruh dari nasionalisme, tidak lepas dari sisi positifnya, yaitu terintensifikasikannya kebangkitan kaum muslimin pada satu asfek.
Bagaimanakah caranya agar sisi positif itu bisa dilanjutkan seraya bisa menepis jurang pemisah yang diakibatkan oleh nasionalisme yang sudah mengakar dikalangan kaum muslimin? Terhadap jawaban ini, sebenarnya sudah jauh-jauh hari Ibnu Taimiyah memberikan jawabannya. Menurutnya, hal ini mudah saja. Ia mengajarkan adanya koordinasi yang baik, yang bersifat Islami di antara negara-negara yang merdeka dan berdaulat itu. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah, sebagaimana dikutif Qamaruddin Khan ( 1971 : 313 ) dalam bukunya Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah, menyatidakan bahwa, ia (Ibnu Taimiyah ) menolak teori kekhilafahan dan mengajukan prinsip kerjasama, baik dalam politik nasional maupun internasional kaum muslimin, sebagai cara yang sebaik-baiknya untuk menghadapi tantangan sejarah.
Dari pendapat Ibnu Taimiyah ini, cukup memberikan masukan pada kita bagaimana membentuk khilafah Islamiyah di alam yang sudah termakan nasionalisme ini. Negara-negara Afrika Timur yang akan kita bahas kemudian, merupakan salah satu bagian dari problematika umat saat ini.

Negara-Negara Afrika Timur

Dalam membahas dunia Islam di wilayah Afrika timur, karena keterbatasan sumber yang dimiliki, maka kita mencukupkan diri pada negara – negara, diantaranya : Sudan, Somalia, dan Ethiopia.
 Somalia
Masyarakat Somalia seluruhnya adalah masyarakat muslim yang terbagi atas dua kelompok keturunan, yaitu Somali dan Sab yang kemudian terbagi lagi oleh sistem segmenter yang komplek menjadi sejumlah konfederasi, sub konfederasi, suku dan pecahan suku lainnya.

Sejumlah partai politik terbentuk pada tahun 1950-an baik di Somalia yang dikuasai Inggris maupun yang dikuasai Italia yang didasarkan pada unsur klan. Somaliland national Society dibentuk berdasar kelompok Isaq, sedangkan United Somali Party dibentuk berdasarkan kelompok Dir dan Darod. Namun demikian, perkembangan ragam tulis baru membantu menciptidakan sebuah simbol bagi identitas nasional.

Ada tiga tarikat yang berkembang di Somalia, yaitu Qadiriyah, Ahmadiyah, dan Salihiyah. Qadiriyah diperkenalkan ke Harar sejak awal abad ke- 15. Salah satu cabang tarikat tersebut, yakni Uway siyah, merupakan tarikat yang sangat aktif di penjuru wilayah Afrika timur. Ahmadiyah didirikan oleh Ahmad bin Idris alFasi ( 1760 – 1837 ) dan dibawa ke Somalia oleh Ali Maye Durogha. Tarikat Sahiliyah didirikan oleh Muhammad bin Salih pada tahun 1887, memiliki beberapa permukiman diantara perairan Juba dan Sheballe. Ia merupakan tarikat yang melahirkan Muhammad bin Abdullah, yang sekembalinya dari Makkah mengajarkan purifikasi Islam. Ia mengumumkan perang melawan Kristen dan pemerintahan Inggris, tetapi pada tahun 1908 ia menyepakati sebuah perjanjian temporer yang mengizinkan dirinya menjalankan negara kecil semi otonom di dalam negara Somali. Namun, pada tahun 1920 pihak Inggris mengalahkan pergerakan ini.

Pada umumnya, tarikat- tarikat sufi itu kedudukannya di masyarakat somali, yakni pada masyarakat kesukuannya, berperan sebagai guru dan hakim, menjalankan administrasi hukum muslim dalam urusan perkawinan, properti dan dan perjanjian. Ketika seorang wali-sufi meninggal makamnya sering dijadikan sebagai tempat pemujaan, objek peziarahan dan disucikan kerena reputasinya dalam memberikan barokah.

Di wilayah selatan, para sufi memainkan peran lebih besar dibandingkan bagian utara. Hal ini terjadi karena di bagian selatan menganut pola hidup pastoralisme. Di bagian selatan ini struktur kesukuan lebih lemah dibanding 9 organisasi negara. Dengan demikian, para sufi memainkan peran lebih besar dalam menumbuhkan keserasian terhadap masyarakat pertanian dan relatif lebih mampu mengamankan posisi politik dalam berhadapan dengan sistem kesukuan.

Pada tahun 1066 jendral Sayed Barre mengambil alih kekuasaan pemerintahan secara paksa. Ia berusaha menekan afiliasi garis keturunan dan kesukuan, dan menyerukan kerjasama bangsa Somali secara nasionalitik. Isu yang paling keras bagi Somalia, adalah tuntutan untuk memasukkan masyarakat Somali ke Kenya, Djibouti. Klaim tersebut jelas ditentang oleh negaranegara tetangganya. yang menolak tuntutan yang melanggar batas-batas wilayah.

Dengan penarikan diri pihak Perancis dari Djibouti dan dengan berkobarnya revolusi bangsa Ethiopia, gerilyawan bangsa Somalia di Eretrea, Bale, dan Ogaden berusaha merebut beberapa propinsi tersebut dari kekuasaan bangsa Ethiopia. Dalam peperangan Regional dan internasional yang berlangsung berikutnya, Uni Soviet melepaskan Somalia dan berganti menyokong Ethiopia, dan dengan bantuan Rusia dan Cuba, Ethiopia mampu mengalahkan pasukan Somalia. Namun, di sisi lain perang dengan pasukan Ethiopia ini telah memperkuat penonjolan identitas Islam Somalia yang menonjol hingga berhasil mengalahkan bangsa Etiopia ( Ira Lapidus M, 1999 : 484).

Dari pemaparan di atas tentang negara Somalia ini, jika dibanding dengan negara sebelumnya (Sudan dan nanti Ethiopia), maka kehomogenan dalam keagamaan ini tidak mempengaruhi pada laju unifikasi negara. Ini adalah suatu kelebihanya dari Somali. Namun, sayangnya Islam yang dianut oleh mereka lebih bercorak sufistik dan tarikat-tarikat yang tidak bisa menghantarkan mereka pada pemberdayaan umat secara dinamis. Sementara di Sudan, umpamanya, pergerakan keagamaan dapat lebih dimotori oleh oleh tarikat-tarikat yang banyak berinteraksi dengan dunia luar, seperti naik haji ke Mekkah. Namun demikian, sufisme di somalia ini memang memiliki keragaman yang berbeda dalam pendekatannya ke masyarakat.

Adapun perbedaan yang dimaksud terletidak pada peranan Sufisme di wilayah utara dan selatan. Dikalangan warga utara, yang umumnya merupakan warga pastoralis (berpola hidup mengembala ternak), para sufi di wilayah ini diterima sebagai klen suku dan mereka diberi sejumlah lahan pertanian. Mereka dimasukkan kedalam garis keturunan suku berpengaruh, yang memandang nenek moyang mereka sebagai wali-wali sufi. Dalam kasus ini perkumpulan sufi pada umumnya terbentuk di perbatasan wilayah kelompok kesukuan dimana mereka dapat berperan sebagai mediator antara masyarakat dengan pemerintah. 

Sedangkan dibagian selatan negara somali, warganya lebih berpola bercocok tanam dan relatif tidak berpola hidup pastoralis. Struktur kesukuan menjadi lebih lemah sementara organisasi negara menjadi lebih kuat. Di sinilah persoalannya, kenapa para sufi di bagian selatan memiliki peranan yang lebih besar dalam menumbuhkan keserasian terhadap masyarakat pertanian dan relatif lebih 10 mampu untuk mengakomodir posisi politiknya dalam berhadapan dengan sistem kesukuan.

Dari uraian di atas, dilihat dari sisi pendinamisan dan pemberdayaan terhadap umat, maka para sufi ini tidak mampu mengadakan pembaharuan Islam yang mengarah pada kedinamikaannya.

DAFTAR PUSTIDAKA

Ahmad Silmi, (1978), al-Tarikh al-Islami Wa al-Hadharat al-Islamiyah, t.t., Ali Mufradi, (t.th.), Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, t.t : Logos Ira M. Lapidus, (t.th), Sejarah Sosial Ummat Islam I, Jakarta :Pt Raja Grafindo.

---, ( 2000 ), Sejarah Ummat Islam II, Jakarta : Pt. Raja Grafindo. Qamaruddin Khan, (1983), Pemikiran Politik Ibnu Taymiyah, Banaadir : Pustaka Al Islah Km4.

0 comments:

Post a Comment