Pendahuluan
Sebelum menguraikan lebih jauh tentang dunia
Islam di Afrika timur, alangkah baiknya kita menggambarkan dahulu tentang benua
Afrika secasra geografis. Setelah itu kita mencoba melihat bagaimana pengaruh
geografis ini terhadap penyebaran Islam di Afrika umumnya dan Afrika Timur
khususnya.
1.Gambaran Umum Benua Afrika
Luas
benua afrika adalah 30.295.000 km 2 atau seperlima dari perrmukaan daratan
bumi. Benua ini tidak banyak memiliki pulau- pulau dan teluk- teluk, sehingga
nampak memiliki kesatuan yang utuh.
Dari tanjung Bon di Tunisia (Afrika Utara )
sampai dengan Tanjung Agulhas di Afrika Selatan panjangnya 8000 km², Sedangkan
lebarnya dari Cape Verde di Afrika Barat sampai dengan Tanjung Guerdefui di
Somalia Timur sejauh 7.400 km.
Adapun batas wilayahnya, sebelah utara
berbatasan dengan laut tengah. Sebelah barat dan tengah berbatasan dengan
samudera Atlantik, dan sebelah timur berbatasan dengan samudera Hindia. Afrika
terbagi dua yang hampur-hampir ditengahi oleh garis equator, yaitu hampir 35 ke
arah utara dan selatan. Selain itu garis meridian 20 BT membagi 2 benua Afrika
menjadi dua bagian yang sama antara barat dan timur. Keadaan alam Afrika dapat
dibagi atas tiga bagian, yaitu bergunung – gunung, lembah retidak besar, dan
dataran pantai sempit. beriklim tropis dan sub tropis.
Penduduk Benua Afrika tahun 1998 berjumlah
763.000.000 jiwa dan sebahagian besar merupakan bangsa Negro. Bangsa Negro di
Afrika dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu Negro Sudan dengan kulit
lebih hitam dengan bibir tebal, dan Negro Batu yang kulitnya lebih terang dari
Negro Sudan. Kegiatan ekonomi penduduknya sebahagian besar bersumber dari
sektor pertanian, pertambangan dan perindustrian. Sektor pertanian meliputi
karet, kapas, kopi, coklat, tebu, kelapa sawit, tembakau, gandum dan kurma.
Dalam sektor pertambangan dan perindustrian, Afrika memiliki barang tambang
yang melimpah dengan hasil tambang utama intan ( 98 % ), krom ( 35 %), mangan
(25 % ), dan tembaga (20 % ).
Bedasarkan wilayah administratif, Arfrika ini
terbagi atas 5 wilayah : Afrika Utara, Afrika barat, Afrika Timur, dan Afrika
Selatan. Benua afrika ini merupakan bekas jajahan Inggris, Perancis dan Spanyol
( E. Maryani : 1997 ).
2. Keadaan Sosial – Politik Bangsa Afrika
Penyebaran Islam di Afrika, umumnya tidak
terlepas dari latar belakang sejarah penyebaran Islam pada zaman awal kejayaan
Islam. Zaman itu dimulai pada masa pemerintahan Khulafa al-Rasyidin, terutama
di awali pada masa pemerintahan Umar bin Khathab. Pada saat itu peta wilayah
kekuasaan Islam di Afrika sudah menyebar sampai ke Mesir.
Ketika Islam sudah masuk Mesir, komunitas kaum
muslimin berkembang dimana mereka menikahi para peduduk setempat dan bercampur
dengan mereka.
Ada banyak tarikat yang muncul di Afrika, di
antaranya al-Murabithun dan al-Muwahiddun (Ali Mufradi, 1997 :112 ) yang silih
berganti menguasai dan menyebarkan Islam di Afrika.
Ketika keberadaan umat Islam di spanyol runtuh,
masyarakat Islam di Afrika sudah mulai terancam pula keberadaannya yang pada
gilirannya bangsa Afrika mulai tercabik-cabik oleh penjajah Barat yang kemudian
ramai-ramai berdatangan ke benua ini.
Pada abad 19 dunia Islam mulai bangkit dari
ketertidurannya, yang walaupun di sisi lain tidak bisa dipungkiri bahwa,
terbangunnya mereka dari tidurnya secara umum karena interaksi mereka sendiri
dengan masyarakat Eropa yang saat itu telah melangkah jauh meninggalkan mereka.
Tentu saja, ada faktor negatif yang diwariskan sebagai efek samping dari
interaksinya itu. Di antara faktor negatifnya, adalah tersebarnya faham nasionalisme
yang pada sisi ini mampu menyadarkan mereka dengan kesadaran semu dan
mengajarkan faham kebangsaan yang bertumpu pada persamaan ras dan kebudayaan.
Kenyataan seperti ini, jelas ikut berkontribusi untuk mengkristalkan kaum
muslimin dalam kelompok dan negara.
Disebut dengan kesadaran semu, Karena jika
dilihat dari sisi integritasnya kaum muslimin sudah tidak mengakui adanya
komunitas yang satu yang berada di bawah naungan pemerintahan yang satu pula.
Oleh karena itu, gambaran kaum muslimin sekarang sudah tidak utuh lagi. Mereka
tidak lebih dari makanan yang tercabik-cabik yang sedang diperebutkan oleh
bangsa Barat yang tengah lapar untuk melahapnya. Memang dibalik kebangkitan
kaum muslimin yang dibarengi dengan disintegrasi sebagai pengaruh dari nasionalisme,
tidak lepas dari sisi positifnya, yaitu terintensifikasikannya kebangkitan kaum
muslimin pada satu asfek.
Bagaimanakah caranya agar sisi positif itu bisa
dilanjutkan seraya bisa menepis jurang pemisah yang diakibatkan oleh
nasionalisme yang sudah mengakar dikalangan kaum muslimin? Terhadap jawaban
ini, sebenarnya sudah jauh-jauh hari Ibnu Taimiyah memberikan jawabannya.
Menurutnya, hal ini mudah saja. Ia mengajarkan adanya koordinasi yang baik,
yang bersifat Islami di antara negara-negara yang merdeka dan berdaulat itu.
Dalam hal ini Ibnu Taimiyah, sebagaimana dikutif Qamaruddin Khan ( 1971 : 313 )
dalam bukunya Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah, menyatidakan bahwa, ia (Ibnu
Taimiyah ) menolak teori kekhilafahan dan mengajukan prinsip kerjasama, baik
dalam politik nasional maupun internasional kaum muslimin, sebagai cara yang
sebaik-baiknya untuk menghadapi tantangan sejarah.
Dari pendapat Ibnu Taimiyah ini, cukup
memberikan masukan pada kita bagaimana membentuk khilafah Islamiyah di alam
yang sudah termakan nasionalisme ini. Negara-negara Afrika Timur yang akan kita
bahas kemudian, merupakan salah satu bagian dari problematika umat saat ini.
Negara-Negara Afrika Timur
Dalam membahas dunia Islam di wilayah Afrika
timur, karena keterbatasan sumber yang dimiliki, maka kita mencukupkan diri
pada negara – negara, diantaranya : Sudan, Somalia, dan Ethiopia.
Somalia
Masyarakat Somalia seluruhnya adalah
masyarakat muslim yang terbagi atas dua kelompok keturunan, yaitu Somali dan
Sab yang kemudian terbagi lagi oleh sistem segmenter yang komplek menjadi
sejumlah konfederasi, sub konfederasi, suku dan pecahan suku lainnya.
Sejumlah partai politik terbentuk pada
tahun 1950-an baik di Somalia yang dikuasai Inggris maupun yang dikuasai Italia
yang didasarkan pada unsur klan. Somaliland national Society dibentuk berdasar
kelompok Isaq, sedangkan United Somali Party dibentuk berdasarkan kelompok Dir
dan Darod. Namun demikian, perkembangan ragam tulis baru membantu menciptidakan
sebuah simbol bagi identitas nasional.
Ada tiga tarikat yang berkembang di
Somalia, yaitu Qadiriyah, Ahmadiyah, dan Salihiyah. Qadiriyah diperkenalkan ke
Harar sejak awal abad ke- 15. Salah satu cabang tarikat tersebut, yakni Uway
siyah, merupakan tarikat yang sangat aktif di penjuru wilayah Afrika timur.
Ahmadiyah didirikan oleh Ahmad bin Idris alFasi ( 1760 – 1837 ) dan dibawa ke
Somalia oleh Ali Maye Durogha. Tarikat Sahiliyah didirikan oleh Muhammad bin Salih
pada tahun 1887, memiliki beberapa permukiman diantara perairan Juba dan
Sheballe. Ia merupakan tarikat yang melahirkan Muhammad bin Abdullah, yang
sekembalinya dari Makkah mengajarkan purifikasi Islam. Ia mengumumkan perang
melawan Kristen dan pemerintahan Inggris, tetapi pada tahun 1908 ia menyepakati
sebuah perjanjian temporer yang mengizinkan dirinya menjalankan negara kecil
semi otonom di dalam negara Somali. Namun, pada tahun 1920 pihak Inggris
mengalahkan pergerakan ini.
Pada umumnya, tarikat- tarikat sufi itu
kedudukannya di masyarakat somali, yakni pada masyarakat kesukuannya, berperan
sebagai guru dan hakim, menjalankan administrasi hukum muslim dalam urusan
perkawinan, properti dan dan perjanjian. Ketika seorang wali-sufi meninggal
makamnya sering dijadikan sebagai tempat pemujaan, objek peziarahan dan
disucikan kerena reputasinya dalam memberikan barokah.
Di wilayah selatan, para sufi memainkan
peran lebih besar dibandingkan bagian utara. Hal ini terjadi karena di bagian
selatan menganut pola hidup pastoralisme. Di bagian selatan ini struktur
kesukuan lebih lemah dibanding 9 organisasi negara. Dengan demikian, para sufi
memainkan peran lebih besar dalam menumbuhkan keserasian terhadap masyarakat
pertanian dan relatif lebih mampu mengamankan posisi politik dalam berhadapan
dengan sistem kesukuan.
Pada tahun 1066 jendral Sayed Barre
mengambil alih kekuasaan pemerintahan secara paksa. Ia berusaha menekan
afiliasi garis keturunan dan kesukuan, dan menyerukan kerjasama bangsa Somali
secara nasionalitik. Isu yang paling keras bagi Somalia, adalah tuntutan untuk
memasukkan masyarakat Somali ke Kenya, Djibouti. Klaim tersebut jelas ditentang
oleh negaranegara tetangganya. yang menolak tuntutan yang melanggar batas-batas
wilayah.
Dengan penarikan diri pihak Perancis dari
Djibouti dan dengan berkobarnya revolusi bangsa Ethiopia, gerilyawan bangsa
Somalia di Eretrea, Bale, dan Ogaden berusaha merebut beberapa propinsi
tersebut dari kekuasaan bangsa Ethiopia. Dalam peperangan Regional dan
internasional yang berlangsung berikutnya, Uni Soviet melepaskan Somalia dan
berganti menyokong Ethiopia, dan dengan bantuan Rusia dan Cuba, Ethiopia mampu
mengalahkan pasukan Somalia. Namun, di sisi lain perang dengan pasukan Ethiopia
ini telah memperkuat penonjolan identitas Islam Somalia yang menonjol hingga
berhasil mengalahkan bangsa Etiopia ( Ira Lapidus M, 1999 : 484).
Dari pemaparan di atas tentang negara
Somalia ini, jika dibanding dengan negara sebelumnya (Sudan dan nanti
Ethiopia), maka kehomogenan dalam keagamaan ini tidak mempengaruhi pada laju
unifikasi negara. Ini adalah suatu kelebihanya dari Somali. Namun, sayangnya
Islam yang dianut oleh mereka lebih bercorak sufistik dan tarikat-tarikat yang
tidak bisa menghantarkan mereka pada pemberdayaan umat secara dinamis.
Sementara di Sudan, umpamanya, pergerakan keagamaan dapat lebih dimotori oleh
oleh tarikat-tarikat yang banyak berinteraksi dengan dunia luar, seperti naik
haji ke Mekkah. Namun demikian, sufisme di somalia ini memang memiliki
keragaman yang berbeda dalam pendekatannya ke masyarakat.
Adapun perbedaan yang dimaksud terletidak
pada peranan Sufisme di wilayah utara dan selatan. Dikalangan warga utara, yang
umumnya merupakan warga pastoralis (berpola hidup mengembala ternak), para sufi
di wilayah ini diterima sebagai klen suku dan mereka diberi sejumlah lahan
pertanian. Mereka dimasukkan kedalam garis keturunan suku berpengaruh, yang
memandang nenek moyang mereka sebagai wali-wali sufi. Dalam kasus ini
perkumpulan sufi pada umumnya terbentuk di perbatasan wilayah kelompok kesukuan
dimana mereka dapat berperan sebagai mediator antara masyarakat dengan
pemerintah.
Sedangkan dibagian selatan negara somali,
warganya lebih berpola bercocok tanam dan relatif tidak berpola hidup pastoralis.
Struktur kesukuan menjadi lebih lemah sementara organisasi negara menjadi lebih
kuat. Di sinilah persoalannya, kenapa para sufi di bagian selatan memiliki
peranan yang lebih besar dalam menumbuhkan keserasian terhadap masyarakat
pertanian dan relatif lebih 10 mampu untuk mengakomodir posisi politiknya dalam
berhadapan dengan sistem kesukuan.
Dari uraian di atas, dilihat dari sisi
pendinamisan dan pemberdayaan terhadap umat, maka para sufi ini tidak mampu
mengadakan pembaharuan Islam yang mengarah pada kedinamikaannya.
DAFTAR
PUSTIDAKA
Ahmad
Silmi, (1978), al-Tarikh al-Islami Wa al-Hadharat al-Islamiyah, t.t., Ali
Mufradi, (t.th.), Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, t.t : Logos Ira M. Lapidus,
(t.th), Sejarah Sosial Ummat Islam I, Jakarta :Pt Raja Grafindo.
---, (
2000 ), Sejarah Ummat Islam II, Jakarta : Pt. Raja Grafindo. Qamaruddin Khan,
(1983), Pemikiran Politik Ibnu Taymiyah, Banaadir : Pustaka Al Islah Km4.