Thursday, November 7, 2019
Saturday, June 6, 2015
MAKALAH PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI SOMALIA
Pendahuluan
Sebelum menguraikan lebih jauh tentang dunia
Islam di Afrika timur, alangkah baiknya kita menggambarkan dahulu tentang benua
Afrika secasra geografis. Setelah itu kita mencoba melihat bagaimana pengaruh
geografis ini terhadap penyebaran Islam di Afrika umumnya dan Afrika Timur
khususnya.
1.Gambaran Umum Benua Afrika
Luas
benua afrika adalah 30.295.000 km 2 atau seperlima dari perrmukaan daratan
bumi. Benua ini tidak banyak memiliki pulau- pulau dan teluk- teluk, sehingga
nampak memiliki kesatuan yang utuh.
Dari tanjung Bon di Tunisia (Afrika Utara )
sampai dengan Tanjung Agulhas di Afrika Selatan panjangnya 8000 km², Sedangkan
lebarnya dari Cape Verde di Afrika Barat sampai dengan Tanjung Guerdefui di
Somalia Timur sejauh 7.400 km.
Adapun batas wilayahnya, sebelah utara
berbatasan dengan laut tengah. Sebelah barat dan tengah berbatasan dengan
samudera Atlantik, dan sebelah timur berbatasan dengan samudera Hindia. Afrika
terbagi dua yang hampur-hampir ditengahi oleh garis equator, yaitu hampir 35 ke
arah utara dan selatan. Selain itu garis meridian 20 BT membagi 2 benua Afrika
menjadi dua bagian yang sama antara barat dan timur. Keadaan alam Afrika dapat
dibagi atas tiga bagian, yaitu bergunung – gunung, lembah retidak besar, dan
dataran pantai sempit. beriklim tropis dan sub tropis.
Penduduk Benua Afrika tahun 1998 berjumlah
763.000.000 jiwa dan sebahagian besar merupakan bangsa Negro. Bangsa Negro di
Afrika dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu Negro Sudan dengan kulit
lebih hitam dengan bibir tebal, dan Negro Batu yang kulitnya lebih terang dari
Negro Sudan. Kegiatan ekonomi penduduknya sebahagian besar bersumber dari
sektor pertanian, pertambangan dan perindustrian. Sektor pertanian meliputi
karet, kapas, kopi, coklat, tebu, kelapa sawit, tembakau, gandum dan kurma.
Dalam sektor pertambangan dan perindustrian, Afrika memiliki barang tambang
yang melimpah dengan hasil tambang utama intan ( 98 % ), krom ( 35 %), mangan
(25 % ), dan tembaga (20 % ).
Bedasarkan wilayah administratif, Arfrika ini
terbagi atas 5 wilayah : Afrika Utara, Afrika barat, Afrika Timur, dan Afrika
Selatan. Benua afrika ini merupakan bekas jajahan Inggris, Perancis dan Spanyol
( E. Maryani : 1997 ).
2. Keadaan Sosial – Politik Bangsa Afrika
Penyebaran Islam di Afrika, umumnya tidak
terlepas dari latar belakang sejarah penyebaran Islam pada zaman awal kejayaan
Islam. Zaman itu dimulai pada masa pemerintahan Khulafa al-Rasyidin, terutama
di awali pada masa pemerintahan Umar bin Khathab. Pada saat itu peta wilayah
kekuasaan Islam di Afrika sudah menyebar sampai ke Mesir.
Ketika Islam sudah masuk Mesir, komunitas kaum
muslimin berkembang dimana mereka menikahi para peduduk setempat dan bercampur
dengan mereka.
Ada banyak tarikat yang muncul di Afrika, di
antaranya al-Murabithun dan al-Muwahiddun (Ali Mufradi, 1997 :112 ) yang silih
berganti menguasai dan menyebarkan Islam di Afrika.
Ketika keberadaan umat Islam di spanyol runtuh,
masyarakat Islam di Afrika sudah mulai terancam pula keberadaannya yang pada
gilirannya bangsa Afrika mulai tercabik-cabik oleh penjajah Barat yang kemudian
ramai-ramai berdatangan ke benua ini.
Pada abad 19 dunia Islam mulai bangkit dari
ketertidurannya, yang walaupun di sisi lain tidak bisa dipungkiri bahwa,
terbangunnya mereka dari tidurnya secara umum karena interaksi mereka sendiri
dengan masyarakat Eropa yang saat itu telah melangkah jauh meninggalkan mereka.
Tentu saja, ada faktor negatif yang diwariskan sebagai efek samping dari
interaksinya itu. Di antara faktor negatifnya, adalah tersebarnya faham nasionalisme
yang pada sisi ini mampu menyadarkan mereka dengan kesadaran semu dan
mengajarkan faham kebangsaan yang bertumpu pada persamaan ras dan kebudayaan.
Kenyataan seperti ini, jelas ikut berkontribusi untuk mengkristalkan kaum
muslimin dalam kelompok dan negara.
Disebut dengan kesadaran semu, Karena jika
dilihat dari sisi integritasnya kaum muslimin sudah tidak mengakui adanya
komunitas yang satu yang berada di bawah naungan pemerintahan yang satu pula.
Oleh karena itu, gambaran kaum muslimin sekarang sudah tidak utuh lagi. Mereka
tidak lebih dari makanan yang tercabik-cabik yang sedang diperebutkan oleh
bangsa Barat yang tengah lapar untuk melahapnya. Memang dibalik kebangkitan
kaum muslimin yang dibarengi dengan disintegrasi sebagai pengaruh dari nasionalisme,
tidak lepas dari sisi positifnya, yaitu terintensifikasikannya kebangkitan kaum
muslimin pada satu asfek.
Bagaimanakah caranya agar sisi positif itu bisa
dilanjutkan seraya bisa menepis jurang pemisah yang diakibatkan oleh
nasionalisme yang sudah mengakar dikalangan kaum muslimin? Terhadap jawaban
ini, sebenarnya sudah jauh-jauh hari Ibnu Taimiyah memberikan jawabannya.
Menurutnya, hal ini mudah saja. Ia mengajarkan adanya koordinasi yang baik,
yang bersifat Islami di antara negara-negara yang merdeka dan berdaulat itu.
Dalam hal ini Ibnu Taimiyah, sebagaimana dikutif Qamaruddin Khan ( 1971 : 313 )
dalam bukunya Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah, menyatidakan bahwa, ia (Ibnu
Taimiyah ) menolak teori kekhilafahan dan mengajukan prinsip kerjasama, baik
dalam politik nasional maupun internasional kaum muslimin, sebagai cara yang
sebaik-baiknya untuk menghadapi tantangan sejarah.
Dari pendapat Ibnu Taimiyah ini, cukup
memberikan masukan pada kita bagaimana membentuk khilafah Islamiyah di alam
yang sudah termakan nasionalisme ini. Negara-negara Afrika Timur yang akan kita
bahas kemudian, merupakan salah satu bagian dari problematika umat saat ini.
Negara-Negara Afrika Timur
Dalam membahas dunia Islam di wilayah Afrika
timur, karena keterbatasan sumber yang dimiliki, maka kita mencukupkan diri
pada negara – negara, diantaranya : Sudan, Somalia, dan Ethiopia.
Somalia
Masyarakat Somalia seluruhnya adalah
masyarakat muslim yang terbagi atas dua kelompok keturunan, yaitu Somali dan
Sab yang kemudian terbagi lagi oleh sistem segmenter yang komplek menjadi
sejumlah konfederasi, sub konfederasi, suku dan pecahan suku lainnya.
Sejumlah partai politik terbentuk pada
tahun 1950-an baik di Somalia yang dikuasai Inggris maupun yang dikuasai Italia
yang didasarkan pada unsur klan. Somaliland national Society dibentuk berdasar
kelompok Isaq, sedangkan United Somali Party dibentuk berdasarkan kelompok Dir
dan Darod. Namun demikian, perkembangan ragam tulis baru membantu menciptidakan
sebuah simbol bagi identitas nasional.
Ada tiga tarikat yang berkembang di
Somalia, yaitu Qadiriyah, Ahmadiyah, dan Salihiyah. Qadiriyah diperkenalkan ke
Harar sejak awal abad ke- 15. Salah satu cabang tarikat tersebut, yakni Uway
siyah, merupakan tarikat yang sangat aktif di penjuru wilayah Afrika timur.
Ahmadiyah didirikan oleh Ahmad bin Idris alFasi ( 1760 – 1837 ) dan dibawa ke
Somalia oleh Ali Maye Durogha. Tarikat Sahiliyah didirikan oleh Muhammad bin Salih
pada tahun 1887, memiliki beberapa permukiman diantara perairan Juba dan
Sheballe. Ia merupakan tarikat yang melahirkan Muhammad bin Abdullah, yang
sekembalinya dari Makkah mengajarkan purifikasi Islam. Ia mengumumkan perang
melawan Kristen dan pemerintahan Inggris, tetapi pada tahun 1908 ia menyepakati
sebuah perjanjian temporer yang mengizinkan dirinya menjalankan negara kecil
semi otonom di dalam negara Somali. Namun, pada tahun 1920 pihak Inggris
mengalahkan pergerakan ini.
Pada umumnya, tarikat- tarikat sufi itu
kedudukannya di masyarakat somali, yakni pada masyarakat kesukuannya, berperan
sebagai guru dan hakim, menjalankan administrasi hukum muslim dalam urusan
perkawinan, properti dan dan perjanjian. Ketika seorang wali-sufi meninggal
makamnya sering dijadikan sebagai tempat pemujaan, objek peziarahan dan
disucikan kerena reputasinya dalam memberikan barokah.
Di wilayah selatan, para sufi memainkan
peran lebih besar dibandingkan bagian utara. Hal ini terjadi karena di bagian
selatan menganut pola hidup pastoralisme. Di bagian selatan ini struktur
kesukuan lebih lemah dibanding 9 organisasi negara. Dengan demikian, para sufi
memainkan peran lebih besar dalam menumbuhkan keserasian terhadap masyarakat
pertanian dan relatif lebih mampu mengamankan posisi politik dalam berhadapan
dengan sistem kesukuan.
Pada tahun 1066 jendral Sayed Barre
mengambil alih kekuasaan pemerintahan secara paksa. Ia berusaha menekan
afiliasi garis keturunan dan kesukuan, dan menyerukan kerjasama bangsa Somali
secara nasionalitik. Isu yang paling keras bagi Somalia, adalah tuntutan untuk
memasukkan masyarakat Somali ke Kenya, Djibouti. Klaim tersebut jelas ditentang
oleh negaranegara tetangganya. yang menolak tuntutan yang melanggar batas-batas
wilayah.
Dengan penarikan diri pihak Perancis dari
Djibouti dan dengan berkobarnya revolusi bangsa Ethiopia, gerilyawan bangsa
Somalia di Eretrea, Bale, dan Ogaden berusaha merebut beberapa propinsi
tersebut dari kekuasaan bangsa Ethiopia. Dalam peperangan Regional dan
internasional yang berlangsung berikutnya, Uni Soviet melepaskan Somalia dan
berganti menyokong Ethiopia, dan dengan bantuan Rusia dan Cuba, Ethiopia mampu
mengalahkan pasukan Somalia. Namun, di sisi lain perang dengan pasukan Ethiopia
ini telah memperkuat penonjolan identitas Islam Somalia yang menonjol hingga
berhasil mengalahkan bangsa Etiopia ( Ira Lapidus M, 1999 : 484).
Dari pemaparan di atas tentang negara
Somalia ini, jika dibanding dengan negara sebelumnya (Sudan dan nanti
Ethiopia), maka kehomogenan dalam keagamaan ini tidak mempengaruhi pada laju
unifikasi negara. Ini adalah suatu kelebihanya dari Somali. Namun, sayangnya
Islam yang dianut oleh mereka lebih bercorak sufistik dan tarikat-tarikat yang
tidak bisa menghantarkan mereka pada pemberdayaan umat secara dinamis.
Sementara di Sudan, umpamanya, pergerakan keagamaan dapat lebih dimotori oleh
oleh tarikat-tarikat yang banyak berinteraksi dengan dunia luar, seperti naik
haji ke Mekkah. Namun demikian, sufisme di somalia ini memang memiliki
keragaman yang berbeda dalam pendekatannya ke masyarakat.
Adapun perbedaan yang dimaksud terletidak
pada peranan Sufisme di wilayah utara dan selatan. Dikalangan warga utara, yang
umumnya merupakan warga pastoralis (berpola hidup mengembala ternak), para sufi
di wilayah ini diterima sebagai klen suku dan mereka diberi sejumlah lahan
pertanian. Mereka dimasukkan kedalam garis keturunan suku berpengaruh, yang
memandang nenek moyang mereka sebagai wali-wali sufi. Dalam kasus ini
perkumpulan sufi pada umumnya terbentuk di perbatasan wilayah kelompok kesukuan
dimana mereka dapat berperan sebagai mediator antara masyarakat dengan
pemerintah.
Sedangkan dibagian selatan negara somali,
warganya lebih berpola bercocok tanam dan relatif tidak berpola hidup pastoralis.
Struktur kesukuan menjadi lebih lemah sementara organisasi negara menjadi lebih
kuat. Di sinilah persoalannya, kenapa para sufi di bagian selatan memiliki
peranan yang lebih besar dalam menumbuhkan keserasian terhadap masyarakat
pertanian dan relatif lebih 10 mampu untuk mengakomodir posisi politiknya dalam
berhadapan dengan sistem kesukuan.
Dari uraian di atas, dilihat dari sisi
pendinamisan dan pemberdayaan terhadap umat, maka para sufi ini tidak mampu
mengadakan pembaharuan Islam yang mengarah pada kedinamikaannya.
DAFTAR
PUSTIDAKA
Ahmad
Silmi, (1978), al-Tarikh al-Islami Wa al-Hadharat al-Islamiyah, t.t., Ali
Mufradi, (t.th.), Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, t.t : Logos Ira M. Lapidus,
(t.th), Sejarah Sosial Ummat Islam I, Jakarta :Pt Raja Grafindo.
---, (
2000 ), Sejarah Ummat Islam II, Jakarta : Pt. Raja Grafindo. Qamaruddin Khan,
(1983), Pemikiran Politik Ibnu Taymiyah, Banaadir : Pustaka Al Islah Km4.
Monday, May 25, 2015
MAKALAH SEJARAH IMAMAH DAN KHILAFAH
MAKALAH
SEJARAH IMAMAH DAN KHILAFAH
DALAM ISLAM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah HI Dalam Islam
DISUSUN OLEH :
RISKIYAH (2012130025)
ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada dasarnya islam merupakan agama yang universal, yaitu tidak ada batasannya dalam interraksi dengan alam semesta. Terutama manusia yang merupakan dari isi alam tersebut. Keuniversalan dalam masalah agam ini (Islam) tidak menutupi pengaruhnya dalam pengaruh segala aspek kehidupan, termasuk politik. Secara garis besar, politik adalah berkenaan dengan kek dituntut dalam mengatasi berbagai hal yang berkaitan dengan manusia dan alam semesta, termasuk dalam kekuasaan politik. Banyak tokoh-tokoh islam memunculkan pemikiran-pemikirannya guna memecahkan persoalan yang membelit umat islam. Pengaruh pemikir politik, baik dari kalangan Syi’ah maupun Sunni beragam dan terbatas. Meski ada banyak perbedaan, namun pada hakekatnya mereka (Syi’ah dan Sunni) sama-sama memiliki tujuan yang sama yakni menjadikan manusia yang memiliki hak dan martabat seutuhnya serta menyingkirkan dari penindasan dan ketidakadilan dalam Negara, khususnya mengenai syarat dan kriteria dalam kepemimpinan Islam.
Mengenai hal tersebut, yang menjadi persoalan utama pada dasarnya terdapat dalam perbedaan siapa pemimpin pengganti Nabi Muhammad yang berhak berkuasa setelah wafatnya beliau. Pertama, muncul pendapat dari kalangan Islam Sunni, yang mengatakan bahwa didalam masalah kekhalifahan haruslah bersandar kepada konsep Syura (musyawarah). Sehingga mereka meyakini bahwa pemilihan pemimpin haruslah berdasarkan musyawarah. Oleh karena itu, Kalangan Sunni mensahkan kepemimpinan Abu Bakar melalui musyawarah di Bani Saqifah Sa’idah. Sedangkan pandangan Kedua kalangan Syi’ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib lah yang berhak mendapatkan gelar sebagai pemimpin (Imamah) setelah wafatnya Nabi Muhammad sebagai penerus kekuasaan melaui wasiat Allah SWT. Akan tetapi, hal tersebut muncul pertentangan dari kalangan Islam Sunni dengan mengatakan bahwa penunjukan atau wasiat Nabi Muhammad terhadap Ali bin Abi Thalib untuk menjadi pemimpin sepeninggalan Nabi dalam peristiwa Ghadir Khum itu tidak ada.
Bermula dari masalah tersebut memnculkan pertentangan diantara Islam sunni dan Islam Syi’ah, dimana keduanya berpeda pandangan siapa yang sah menjadi penerus setelah wafatnya Nabi Muhammad. Berangkat dari maasalah itu penulis mencoba ingin mencari latar belakang terbentuknya sistim Imamah dan khilafah dalam kepemimpinan Islam.
B. POKOK PERMASALAHAN
Pada hakikatnya, wacana politik islam khususnya perihal kekuasaan atas rakyat, sejatinya telah banyak dipengaruhi sejarah yang panjang, dari ketidakcocokan dalam masalah Teologis antara Syi’ah (Imamah) dan Sunni (khilafah). Dengan kata lain, baik Sunni maupun Syi’ah mengklaim bahwa cara-cara mereka adalah yang terbaik. Dengan demikian, berangkat dari seluruh uraian pada latar belakang dan pokok permasalahan tersebut, maka dapat dirinci masalah khusus sebagai berikut :
- Bagaimana terbentuknya sistim Imamah dan Khilafah dalam Islam?
C. KERANGKA TEORI
TEORI KEPEMIMPINAN ISLAM
Pada hekekatnya teori kepemimpinan atau kekuasaan dalam islam memiliki dua konsepsi yang berbeda. Pertama, konsepsi kepemimpinan Imamah (kepemimpinan menurut syi’ah khususnya syi’ah imamiyah). Kedua, konsepsi kepemimpinan khalifah (kepemimpinan menurut sunni). Walaupun memiliki perbedaan dalam pemahamanya, namun keduanya (imamah dan khalifah) sama-sama mengakui pentingnya suatu golongan atau umat dalam mengangkat pemimpinya, baik itu mengurusi kepentingan agama maupun Negara meskipun dengan metode pengangkatan atau pemilihan yang berbeda. Berikut adalah penjelasan teori-teori tersebut :
1). Teori Imamah
Imamah merupakan bahasa Arab yang berakar dari kata imam. Kata imam sendiri berasal dari kata “amma” yang berarti “menjadi ikutan”. Kata imam berarti “pemimpin atau contoh yang harus diikuti, atau yang mendahului”. Orang yang menjadi pemimpin harus selalu di depan untuk diteladani sebagai contoh dan ikutan. Kedudukan imam sama dengan penanggung jawab urusan umat.
Sedangkan Imamah menurut bahasa ialah kepemimpinan. Dan setiap orang yang menduduki kepemimpinan ataupun pemerintahan islami dinamakan imam. Hal serupa dikatakan oleh Ahmed Vaezi, bahwa teori Imamah atau Imam merupakan sebuah unsur penting dari doktrin politik Syi’ah.
Beliau menjelaskan;
“Status politik dari para imam adalah bagian yang esensial dalam mazhab Syi’ah Imamiah. Mereka dionggap sebagai penerus yang sah dari Nabi Muhammad SAW yang mulia, dan mereka yang mendukung islam perspektif ini percaya bahwa setiap penerus harus ditunjuk Allah SWT oleh Nabi-Nya. Akan tetapi terdapat mereka yang mereduksi imamiah sebagai sikap politik, sebuah kelompok yang mendukung Khalifah Ali Bin Abi Thalib As, dan keluarganya sebagai penerus-penerus yang sah dari Rasulullah Saw yang mulia.
Tetapi otoritas politik para Imam tidak mengandung arti bahwa peran dan serta mereka terbatas pada pemerintahn ataupun kepemimpinan. Bagi para pengikut, mereka mempresentasikan tingkat tertinggi dari kesalehan dan mereka mempunyai kualitas yang sama seperti yang dicontohkan Rasulullah Saw.
Menurut Ulama besar fiqih Syafi’i, Abu Hasan Al-Mawardi mengatakan, bahwa; “Keimamahan diletakkan untuk menggantikan posisi kenabian dalam memelihara agama dan pokitik keduniaan”. Dalam perkara tersebut perlu adanya seorang khalifah atau pengganti Rasul. Sedangkan tugas seorang Imam adalah “menjaga dan memelihara agama” yakni menjaga, memelihara, dan membela agama, bukan menjelasakan atau mengadakan dalam pergantian dalam agama.
Sedangkan menurut ulama Syi’ah, Murtadha Murthahari mengatakan bahwa :
“Seorang Imam adalah seorang Marja’ (tempat merujuk) dalam menyelesaikan berbagai perselisihan yang sebenarnya perselisihan itu bersumber dari Ulama itu sendiri. Dan dapat menyelesaikan bahwa dalam berbagai riwayat Syi’ah yang berbunyi “Imam laksana Ka’bah” imam itu seperti Ka’bah, Ka’bah tidak menuju umat melaikan umat yang menuju Ka’bah.
Pemahaman serupa juga datang dari seorang pemikir barat, Anthony Black, yang menggambarkan pengertian Imam sebagai berikut :
“Kedua belas Imam berdiri, dan diatas segalanya Imam yang Kedua belas Imam yang sekarang dianggap ghaib. Dianggap begitu penting bagi konstitusi jagat dan agama yang benar. Imam adalah hujjah Tuhan, dia adalah pilar dari jagat raya, ‘Pintu gerbang yang harus dilalui untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Pengetahun mengenal Wahyu Illahi tergantung padanya".
Dari pengertian ‘Imam atau Imamah’ diatas setidaknya memberikan penjelasan bahwa Imam haruslah mengetahui hukum dan undang-undang agama. Seorang Imam harus mengetahui setiap persoalan yang harus ditingkatkan kepemimpinanya sehingga hukum dan agama yang ada disisinya tetap ada dan efektif dalam memberikan petunjuk dan mengelola masyarakat. Sehingga jalan yang utama lurus dan menuju kebahagiaan, dapat ditempuh masyarakat.
2). Teori Khalifah
Meskipun ada kesepakatan umum diantara ketidaksepakatan (Syi’ah dan Sunni), ahli fiqih Sunni secara tradisional mendukung sebuah teori pemerintahan yang spesifik yang dikenal dengan Khilafah. Sebuah doktrin, baik sebagai teori politik maupun sebagai realitas historis yang signifikan. Teori tersebut telah mendominasi pemikiran islam untuk waktu yang cukup lama. Dalam kajian teori ini, adalah penting untung membedakan antara Konsep Khilafah dan Konsep Imamah.
Para ulama fiqih Sunni umumnya menganggap bahwa Khalifah sebagai penguasa yang yang sah yang memerintah dan mengatur rakyatnya. Penunjukanya tergantung pada kualitas-kualitas spesifik yang harus dimiliki, seorang penguasa, akan tetapi tidak ada kesepakatan universal tentag karakteristik-karakteristiknya.
Anthony Black berpendapat bahwa “Khalifah secara ilahiah (divinely) telah diberi utoritas baik untuk urusan politik maupun agama”. Untuk menguatkan pendapat tersebut, Anthony Black meyakini bahwa Khalifah juga memiliki otoritas baik untuk urusan politik maupun agama.
Seorang ilmuwan barat Montgomery Watt, juga berpendapat bahwa :
“khalifah secara esensial berarti penerus atau seseorang pemegang posisi yang sebelumnya dipegang oleh orang lain. Akan tetapi konteks ini tidak terbatas pada politik saja. Jadi, seorang khalifah (chaliph) bukan saja penerus dari pemerintahan terdahulu, tetapi bisa juga seseorang yang definitive ditunjuk sebgai wakil dan diberi otoritas oleh orang yang telah mennjukanya. Atau lebih kurang sma artinya dengan wakil, atau naib (vicegerent).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Munculnya Politik Islam Syi’ah
Bagi kalangan Syi’ah guna menjaga dari kesucian dan kemurnian Al-Qur’an serta upayanya dalam menjaga petunjuk Tuhan, terhadap semsta alam ini, maka Nabi Muhammad tidak diutus sendirian ke dunia ini. Jikalau Nabi Harun diutuskan oleh Nabi Musa untuk membantu dan menggantikan Nabi Musa, maka sepupu Nabi Muhammad, Ali Bin Abi Thalib diberikan oleh Nabi Muhammad untuk menjadi wakil dan penerus Nabi Muhammad. Dari situlah awal garis silsilah para pemimipin yang diyakini sebagai keselamatan untuk kalangan Islam Syi’ah khususnya, dan umat islam umumnya.
Menurut bahasa, Syi’ah berasal dari kata Sya’a yang brarti pengikut atau pendukung. Sedangkan secara terminology, syi’ah pada umumnya merupakan setiap orang yag setia kepada Ali Bin Abi Thalib dan Ahlulbait (keluarga nabi). Bentuk jamaknya adalah assya’ dan syiya’, yang disebut Syi’ah.
Kalangan Islam Syi’ah berpendapat bahwa kemunculan syi’ah berawal dari massalah pengganti (Khalifah) Nabi Muhammad. Mereka menolak kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, karena hanya Ali Bin Abi Thalib lah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad. Mereka berkeyakinan bahwa semua persoalan kerohanian dan agama haus merujuk kepadanya serta mengajak masyarakat untuk mengikutinya. Meereka berpandangan seperti itu karena berdasarka bukti utama atas sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khum.
2.2. Sejarah Munculnya Politik Islam Sunni
Pada umumnya Sunni adalah nama bagi kelompok muslim pendukung Sunnah. Sunnah sendiri merupakan jejak yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad dan Khulafaur ar-rasyidin. Selanjutnya yang disebut dengan Ahlussunah berarti pengikut atau penganut Nabi Muhammad dan Jemaah berarti sahabat Nabi. Jadi, Ahlussunnah wal-Jama’ah mengandung Sunnah Nabi dan para sahabat Nabi Muhammad.
Pada dasarnya, terbentuknya institusi ini lahir sejak kepemimpinan Abu bakar. Terlepas dari golongan Syi’ah Ali, adanya sikap penentangan yang menolak terhadap pembantaian Abu Bakar sebagai pemimpin. Penentangan tersebut sebagaimana yang dilakukn oleh Sa’ad bin Ubadah dan kelompoknya yang merupakan kandidat pemimpn paska wafat Nabi dari golongan Anshar di saqifah bani Sa’adah.
Pada periode Umar, jamaah tidak menghadapi problem. Namun, pada saat kepemimpinan Utsman, Umat islam mengalami masalah kembali hal tersebut disebabkan bahwa Utsman tidak patut dan telah melakukan kesalahan dan penyimpangan. Meski demikian, mereka tidak ada niatan untuk membunuhnya. Mereka kemudian membentuk kelompok yang dinalmakan Utsmaniah. Sejak abad ketiga, kelompok utsmaniah berangsur mengganti nama Ahlussunah Wal-Jama’ah, setuju dan mendudkung Ali.
2.3. Problem Suksesi
Sepeninggalan Nabi Muhammad SAW, diadakanlah pertemuan di Saqifah. Hal tersebut mengingat Nabi tidak meninggalkan wasiat mengenai pergantian kepemimpinan atau suksesi. Saat berita itu sampai kepada Abu Bakar, Umar r.a, dan beberapa orang sahabat dari kalangan mujahirin. Mereka segera datang kepertemuan itu tidak menyadari bahwa mereka sedang mengadakan pertemuan atau muktamar terpenting dalam seluruh sejarah islam. Pertemuan itu mirip dengan pertemuan nasional atau muktamar luar biasa yang membicarakan nasib umat dalam perjalananya pada masa mendatang, dan meletakkan dustur bagi institusi politik yang baru itu, yang menjadi landasan operasional institusi itu dimasa mendatang. Hasil terbesar pertemuan itu adalah berdirinya institusi kekhalifahan yang sejak saat itu menjadi model pemerintahan islam, baik dalam bentuk yang sama maupun yang sedikit berbeda, hingga era dua puluh. Berdirinya institusi politik islam ini alam bentuk yang disepakati oleh para peserta pertemuan mengandung makna-makna yang mempunyai hasil-hasil perundungan yang besar, yang akan ketahui nanti. Saat masalah inidianalisis secara mendetail bersamaan dengan kajian tentang mazhab-mazhab politik islam yang beragam. Hal itu mendorong seorang penulis Barat, Prof.D.B. Macdonald, memberikan kesaksian sebagai berikut, “Pertemuan itu mengingatkan secara dekat kepada muktamar politik di era modern yang didalamnya berlangsung pedebatan- pedebatan politik yang menggunakan metode-metode perdebatan modern.”
Teori-teori pemikiran terpenting yang dilontarkan dalam pertemuan itu, sebagai berikut:
Pertama, teori membela kalangan Anshar yang mengklaim diri mereka sabagai pihak yang berhak untuk memegang jabatan kekhalifahan, dengan alasan merekalah yang membela islam, menjaganya dengan jiwa dan harta mereka, yang memberikan tempat dan pertolongan, dan merekalah penduduk asli Madinah. Kami dapat berkata, ini adalah teori politik pertama yang timbul dalam sejarah pemikiran politik islam.
Kedua, merupakan bantahan atas teori pertama tadi, berupa pembelaan atas hak kaum Muhajirin atas jabatan kekhalifahan, dan membuktikan bahwa mereka lebih berhak atas jabatan kekhalifahan dibandingkan dengan yang lain, dengan alasan merekalah seperti diungkapkan dalam pidato Abu Bakar r.a. dalam pertemuan itu. Pihak yang pertama kali menyembah Allah SWT diatas permukaan bumi. Mereka adalah orang-orang kepercayaan Rasul dan keluarga beliau, dan yang bersabar bersama beliau dalam menerima penganiayaan yang keras dari kaumnya dan pendustaan mreka. Sementara manusia yang lain bersebrangan dengan mereka. Mereka tidak merasa gentar dengan bilangan mereka yang sedikit, dan bersatuya kaum mereka untuk memusuhi mereka. Dalam retorika pembelaan atas kaum Muhajirin itu, timbul pula untuk perttama kalinpemikiran tentang keutamaan suku Quraisy: “ para imam (pemimpin) dari kalangan Quraisy”. Dan hal itu akan menjadi landasan teori pemilikan kaum Quraisy atas jabatan khalifah. Atau jabatan ini menjadi hak istimewa mereka. Di samping teori lain yang di kemukakan oleh Habbab bin Mundzir bin Jamuh, berupa kemungkinan pemecahan kepemimpian atau adanya beberapa kepala negara sekaligus. Misalnya dengan mengangkat dua khalifah sekaligus, yaitu saat ia berkata, “ Dari kami ada pemimpin tersendiri, dan dari kalian ada pemimpin tersendiri pula.” Namun, peserta pertemuan itu, meskipun titik pandang masing-masing kelompok berbeda, menyepakati konsep yang amat penting, yaitu pemilihan kepala Negara dilakukan dengan baiat, atau dengan kata lain pemilihan. Dan mereka secara factual mencampakkan metode pewarisan jabatan.
Para peserta pertemuan itu akhirnya sepakat untuk memilih Abu Bakar. Hal itu terjadi bukan seperti yang dilukiskan oleh Prof. Arnold-sesuai dengan pemikirannya yang salah,seperti telah kita lihat sebelumnya kesalahannya itu, yang menganalogikan system masyarakat yang baru itu dengan system kekabilahan. Juga bukan karena mengikuti adat istiadat yang berlaku di kalangan bangsa Arab, sejak lama, dengan melihat usia dan kekuasaan. Namun, karena melihat Abu Bakar r.a. mempunyai kedudukan keagamaan yang tinggi dibandingkan dengan sahabat yang lain, dan hal itu diakui oleh semua umat islam, juga karena dia adalah kelompok yang pertama masuk islam, telah berjasa besar dalam membela islam, bersahabat sejak lama dengan Rasulullah saw.,keikhlasannya yang demikian besar, imannya yang teguh,serta sifat-sifat akal dan akhlaknya yang jarang, yang membuat dirinya menjadi pribadi teladan yang sempurna bagi insan muslim. Hal itu digambarkan oleh Umar r.a dalam ucapannya yang ringkas, “ Tidak ada di antara kalian yang dapat menundukkan semua orang seperti Abu Bakar.” Seandainya pemilihan itu dilakukan sesuai dengan adat istiadat bangsa Arab, niscaya mereka akan memilih Ibnu Ubadah, pemimpin kalangan Khazraj, atau Abu Sufyan, pemimpin tertua Bani Umayyah, atau juga Abbas, petinggi keluarga Bani Hasyim. Diantara mereka juga ada yang lebih tua dari pada Abu Bakar. Seandainya demikian, niscaya mereka tidak akan berpaling dari keluarga-keluarga yang kuat itu untuk kemudian memilih salah seorang keturunan suku Taim yang lemah.
2.4. Kekuasaan Politik Islam Sunni: Khilafah sebagai Implementasi Kekuasaan Politik melalui Musyawarah (syura’)
Konsep kekuasaan dalam politik islam pada dasarnya merupakan sarana sebagai implementasi hukum-hukum Tuhan yang tentunya berlandaskan Al-Qur’am dan Hadist. Dengan demikian para pemegang kekuasaan islam adalah amanat dari Tuhan. Antara syi’ah dan sunni sebenarnya terlihat secara jerlas, yaitu sama-sma wajib bagi umat muslim untuk mengangkat seorang pemimpin yang kompeten dan layak untuk dijadikan sebagai pemimpin.
Bagi Islam Sunni, mengungkapkan bahwa Nabi Muhammad meninggalkan rakyat beliau tanpa menentukan sebagai pengganti sumber rujukan hukum. Nabi juga tidak menjelaskan kepada rakyat, siapa yang melaksanakan tugas-tugas kedunawian selayaknya yang dilakukan oleh beliau. Kaum sunni juga mengatakan bahwa pemilihan pemimpin pertama dan utama adalah terletak pada pemilihan masyarakat. Sehingga jika rakyat memilh individu tertentu dan menjadi pemimpin harus ditaati. Dan hal itulah yang kemudian disebut dengan konsensus (ijma’) bentuk musyawarah mengenai suksesi kepemimpinan paska Nabi.
Dalam islam dapat kita temui banyak arti lain dari beberapa arti pemimpin, yakni Khilafah, Imamah, Imarah atau Shulthan. Kesemuanya dalam istilah yang berbeda tetapi mempunyai makna konotasi yang sama. Untuk menyebut kedudukan yang sma yaitu institusi yang memimpin kaum muslmin. Abu bakar adalah orang yang pertama kali disebut dngan sebutan Khalifah ar-rasul atau pengganti Nabi. Umar bin al-khatabb adalah orang yang mendapat gelar amirul Mu’minin atau pemimpin orang-orang mu’min. sedangkan Shultan merupakan sebutan untuk pemimpin setelah khulafa ar-rasyidin.
Khalifah secara etimologis adalah kedudukan pengganti yang menggantikan orang sebelumnya. Menurut terminology islam Khalifah diartikan sebagai kepemimpinan umum, yang menjadi hak seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hokum islam dan mengembangkan dakwah islam di dunia. Batasan kepemimpian umum mempunyai konotasi bahwa khalifah islam bertugas mengurusi semua urusan yang melliputi semua urusan hokum islam terhadap rakyat, tanpa kecuali muslm dan non-muslm, mulai dari masalah aqidah, ibadah, pendidikan politik dalam dan luar negeri, semua diurus oleh khilafah islam.
2.5. Kesuasaan Politik Islam Syi’ah : Imamah Sebagai Implementasi Kekuasaan Politik Melalui Wasiat
Menurut kaum Syi’ah ke-imamahan merupakan suatu hal yang terpenting, bahkan wajib bagi penguasa dalam menjaga amanah Tuhan, baik menjaga hubunganya dengan Sang Pencipta maupun dengan sesame makhluk (manusia).
Dengan cara yang sama, bahwa kenabian menyiratkan serangkaian atribut dan kondisi, demikian juga penguasa yang datang setelah Nabi, juga harus disertai dengan sosok atau kualitas tertentu. Hal tersebut timbul dari kenyataan bahwa syi’ah menolak untuk menerima sebagai penguasa komunitas orang yang kurang keadilan, kepintaran/kepakaran. Perintah yang tepat dari ilmu agama, kemampuan untuk memberitakan hukum Allah SWT, dan ketepatanya untuk menerapkan kedalam masyarakat secara tepat. Hal tersbut sangatlah tidak mungkin, karena pada dasarnya tidak ada makhluk yang melebihi kesempurnaan ataupun menyerupai Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Islam merupakan agama yang universal. Sejak abad Klasik, tengah, hingga modern, islam mengalami sejarah panjang mengenai kepemimpinan politik Islam. Adanya pandangan yang berbeda mengenai Imamah (syi’ah Imamiyah) dan Khilafah (Sunni) menjadi problem tersendiri bagi umat Islam. Dimana terjadi pertentangan antara golongan Syi’ah dan Sunni mengenai siapa penerus atau pemimpin setelah wafatnya Nabi Muhammad.
Kemunculan Islam syi’ah berawal dari masalah pengganti (Khalifah) Nabi Muhammad. Mereka menolak kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, karena menganggap hanya Ali Bin Abi Thalib lah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad. Mereka berkeyakinan bahwa semua persoalan kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya serta mengajak masyarakat untuk mengikutinya. Mereka berpandangan seperti itu karena berdasarka bukti utama atas sahnya Ali sebaagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khum. Sedangkan kemunculan Islam Sunni merupakan kelompok muslim pendukung Sunnah. Sunnah sendiri merupakan jejak yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad dan Khulafaur ar-rasyidin, yang disebut dengan Ahlussunah berarti pengikut atau penganut Nabi Muhammad dan Jemaah berarti sahabat Nabi. Jadi, Ahlussunnah wal-Jama’ah mengandung Sunnah Nabi dan para sahabat Nabi Muhammad.
Dalam pemilihan pemimpin pun kedua golongan tersebut berbeda, Syi’ah berpendapat bahwa implentasi kepemimpinan berdasarkan Wasiat dan Syi’ah juga menolak untuk menerima sebagai penguasa komunitas orang yang kurang keadilan, kepintaran/kepakaran. Perintah yang tepat dari ilmu agama, kemampuan untuk memberitakan hokum Allah SWT, dan ketepatanya untuk menerapkan kedalam masyarakat secara tepat. Hal tersbut sangatlah tidak mungkin, karena pada dasarnya tidak ada makhluk yang melebihi kesempurnaan ataupun menyerupai Allah SWT. Sedangkan pandangan serta pemikiran dari Islam Sunni, dimana pemimpin bahwa pemilihan pemimpin pertama dan utama adalah terletak apada pemilihan masyarakat. Sehingga jika rakyat memilh individu tertentu dan menjadi pemimpin harus ditaati. Dan hal itulah yang kemudian disebut dengan konsensus (ijma’) bentuk musyawarah mengenai suksesi kepemimpinan paska Nabi. Dan dari situlah awal terbentuknya sistim Imamah dan Khilafah.
Subscribe to:
Posts (Atom)